Sabtu, 07 Maret 2009

Lupa Silsilah Tak Ingat Marwah

Tersebutlah perkataan Raja Bugis. Raja yang besar-besar di negeri Goa adalah namanya Baginda itu Madu Silat kata setengah pula Madu Silat ia anak tiga orang laki-laki yang pertama nama Pacung yang kedua bernama sendiri Buang Daeng Rilaga yang ketiga Apu Daeng Bias. Maka ketiga-tiga anak raja ini baik rupanya. Apabila Baginda Ayahandanya mangkat diganti oleh putranya yang tua bernama Pacung. Saudaranya yang dua ini akan menggantikan menjadi mentrinya, maka keduanya berpangku bermohon pergi mengembara dahulu melihat termasa dinegeri orang adapun Daeng Bias ini menjadi Kelana. Ianya menyusuplah tanah Jawa berperang bersama Holanda. Melanggar di tanah Jawa maka dijadikan oleh Betawi. Adapun di negeri Betawi Apu sendiri Buang Daeng Rilaga ianya mempunyai lima orang anak laki-laki satu ibu yang satu pula adalah Daeng Celak. Bundanya itu raja Bugis bernama Datuk Pawa dibawa oleh Apu Tandiri Burang Daeng Rilaga. Berlayar bersama-sama dengan Yekatah sebelah Barat, dipanggil orang namanya Daeng Pali mempunyai anak yang pertama bernama Apu Daeng Perani yang kedua bernama Apu Daeng Menambun dan yang tengah bernama Daeng Meriwah yang keempat bernama Apu Daeng Celak yang kelima bernama Apu Daeng Kemasi. Kelima-lima anak raja ini masih remaja belaka. Adapun Daeng Celak dan Daeng Kemasi ini budak sangatlah dikasihani oleh ayahanda bundanya, maka dibawalah barang kemana-mana putra ini yang kelima itu. Apu Daeng Celaklah yang baik parasnya membuat ngirat hati perempuan-perempuan kata yang empunya ceritanya. Maka datang gerak hati Apu Tandiri Burang Daeng Rilaga itu bermain dinegeri orang lain dengan baginda itu masih kaum kerabat. Maka berangkatlah baginda ke negeri Tapa Manah dengan segala mentrinya maka apabila sampai di negeri itu disambut segala orang-orang besar Tapa Mana dibawanya beramu dengan datuk perempuan itu dimuliakan oleh datu perempuan itu betapa adat raja-raja sama raja-raja dengan berjamunya serta diberinya tempat duduk yang patut. Tiada berapa lama mufakatlah segala orang besar-besar Tapa Manah ini hendak disatukan kedua raja ini jadu dua laki-istri karena Datuk Tapa Manah raja perempuan lagi muda remaja putera maka dinikahkan oleh orang besar-besar itu sebagai adat raja-raja. Setahun lamanya mendapat seorang anak perempuan digelarkan nama Datuk Rutaja itulah ganti paduka bundanya menjadi raja Tapa Manah.

KETIKA MATAHARI MENJADI BULAN

Semua pasti tau,paham serta membutuh kan yang namanya matahari,dari mahluk hidup baik itu manusia, tumbuhan sampai ke ikan asin.

Dalam hal ini sebagai man tersebut diatas merupakan ungkapan saja.matahari merupakan komponen penting dalam suatu SISTEM,Sang matahari merupakan motor penggerak agar komponen pendukung bisa maksimal.Komponen tak akn sempurna,gagal dan pada ahir nya menghasilkan prodak yang menjadi sampah.

Saat itulah ada komponen - komponen yang harus berkerja maksimal.karena tidak semua komponen mampu bekerja sepihak demi kelestarian sistem minoritas ahirnya sia - sia dan tidak dimannfaatkan oleh sistem.

Mungkin tulisan ini sangat membingungkan TETAPI kalau kita sadar dan paham kita tau siapa sistem dan tau siapa komponen Insya Allah, Matahari tetaplah matahri dia akan muncul disiang hari,Bulan tetap bulan...KIta sebagi salh satu pendukung Sistem mesti tau dan mencegah kerusakan sistem dri lingkungan terkecil kita sendiri...wassalam

P= K2.N

Kehidupan bak sebuah mesin,kadang kita merasa tenang apa bila kita pergi atau melakukan perjalanan jauh nan teramat panjang,mesin berpungsi dengan baik apabila kita sering atau pandai merawatnya,apa bila mesin kita jalan kan tentu perlu bahan bakar oli dan lain sebagainya,

Begitu juga dengan manusia dalam menjalani kehidupan yang mana nafsu lebih banyak menguasai otak kita dari pada kata hati yang dalam hal ini adalah menjalani kehidupan secara normal dan berpayung dengan norma dan aturan baik vertikal maupun horizontal.Kehidupan sesama manusia memerlukan klasifikasi mesin yang eksemblingnya minimal buatan jerman atau amerika.Sama halnya dengan manusia yang jenis mesinnya no 2 atau 3 bahkan tak ada nomor,kehidupan manusia kelas ini memerlukan biaya operasional teramat tinggi dan banyak, mereka mau berjalan diatas NORMAL, MELAKUKAN PEKERJAAN TAK NORMAL, DAN YANG LEBIH TAK NORMAL LAGI MEREKA BUTUH PARANORMAL(bukan dlm arti yg sesungguhnya).

Kehidupan tak normal memang tak menyenangkan tetapi menjadi favorit dalam dunia,sebagi contoh pemerintah sampai membentuk komisi yang tak normal,komisi ini dibilang tidak normal karena kita tak tau buatan mana mesinnya, Tarikannya bagus, aerodinamis ya mantap, minyak nya irit,cuma mesin ini tak kuat angkat beban banyak, MENGAPA.???Bukan karena bodi kecil,bukan karena sopir tak punya SIM, atau bukan karena modal tak kuat,Tetapi BARANG YANG ADA DAN MESTI DI ANGKUT DI NEGARA REPUBLIK INI TERLALU BANYAK.mesin ini cuma ada satu di indonesia tetapi variannya banyak ...MESIN APAKAH YANG DI MAKSUD???.....BERSAMBUNG

Kamis, 05 Maret 2009

10 - 1 = 0

Sekumpulan orang pintar, sejuta ide tercipta, milyaran nyawa bergantung kepada mereka, berjuta harapan yang mereka tebarkan tapi sayang satu ucapan terikrar tidak terlaksana ibarat melukis diatas air.

Kita terkadang lupa dengan jati diri kita..Malah bak seorang pahlawan membela kaum awam..mereka muncul bak siluman ..tanpa sadar mereka ciptakan korban,,

Perjuangan memang perlu pengorbanan,banyak kaum awam yang terdiam dikala mereka mendengar jika kata itu diucapkan..tanpa sadar mereka termakan umpan dengan dalih untuk orang awam..

Cerita punya cerita sang pahlawan lupa akan umpan yang mereka tebarkan ..dengan 1 ungkapan kami cuma ....cuma ....cuma

Sehingga kaum awam CUMA bisa berucap PERCUMA, sehingga menjadi 1 penyesalan , 1 kebohongan, 1 sikap tak sopan,tetapi dari 10 cuma satu yang ...Bisa, Mau, serta Dapat...menghidar dari 10-1 = 0..Wassalam

Hati Zero

Menjalani kehidupan pasti berkaitan dengan mencari makan,mencari kedudukan,mencari kekayaan asalkan jangan lupa TUHAN,...
Kadang ada yang beranggapan Tuhan LUPA dengan mereke walaupun lebih banyak yang sengaja dan berasalan Demi TUhan saya cuma jalankan perintah atasan, Lagi -lagi karena atasan ya...memang ada benarnya juga tapi jangan sampai main - main dengan alasan kata yang punya jabatan...
Tulisan diatas merupakan ungkapan sekelumit urusan yang terkadang bahkan sering muncul dalam kehidupan,ada yang cuma alasan,cuma ungkapan dan memang kebutuhan.Andai kata suatu perbuatan langsung ada akibat tanpa ada urutan maupun serangkai keputusan pasti kita tidak sembarang dalam berbuat demi suatu alasan.

Rabu, 04 Maret 2009

Percintaan Tragis Melayu-Bugis

BEGITU banyak kisah percintaan yang berujung pada kisah kasih tak sampai berseliweran mewarnai kesusasteraan dunia. Mulai dari kisah cinta abadi Romeo dan Juliet di Italia, Ohatsu dan Tokubei di Jepang, Uda dan Dara di Malaysia atau Cleopatra di Mesir, Helen dari Troya Yunani, Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri di Minangkabau, kali ini Rida K Liamsi mencoba menciptakan “nasib yang sama” untuk tokoh Raja Djaafar dan Tengku Buntat dari Kerajaan Riau Lingga. Semuanya bernasib tragis, pun begitu dengan kisah yang diangkat dalam novel “Bulang Cahaya” ini.
“Sudah tahu peria pahit
mengapa digulai di dalam pasu
sudah tahu bercinta sakit
mengapa tak jera dari dahulu“
Demikian pantun Melayu menyentil tingkah dua sejoli yang mabuk kepayang dibuai cinta. Dan pantun yang membikin Rida terkesan ini, tampaknya menjadi salah satu kunci utama bagaimana dia membangun kisah percintaan yang berlatar pada sejarah panjang Kerajaan Riau Lingga. Ber-setting daerah Kepulauan Riau sampai ke pantai timur semenanjung Malaysia, latar cerita jatuh bangunnya Kerajaan Riau Lingga yang bermula dari Kerajaan Johor itu justru membikin novel perdana CEO Riau Pos menjadi fenomenal. Pembaca dihantarkan pada perjalanan sejarah sebenarnya kerajaan ini yang tidak semua orang tahu, termasuk budak Melayu sekalipun. Dan demi itu, Rida harus berburu berbagai sumber dan referensi untuk memuaskan keingintahuan pembacanya.
Mengutip Edgar Allan Poe, seperti yang dikatakan Maman S Mahayana yang memberi catatan penutup dalam novel setebal 326 ini, “Bulang Cahaya” telah memenuhi syarat sebagai novel yang memberi hiburan yang mendidik (dulce et utile) atau pendidikan yang menghibur (didactic heresy). Rida dikatakannya, menyodorkan fakta dan peristiwa sejarah Kerajaan Melayu secara meyakinkan, lengkap dengan segala tunjuk ajar dan ruh kebudayaannya.
Apa yang dikatakan Maman tidak salah. Di novel ini kita akan tahu banyak bagaimana berdirinya kerajaan ini, masuknya etnis Bugis yang kemudian menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah Riau, kehidupan sosial orang Melayu, adat istiadat yang berlaku, perjuangan Riau melawan Belanda, sejarah terbentuknya Malaysia dan Singapura, dan sejumlah pengetahuan lainnya. Namun begitu, semuanya itu tetap menjadi pembungkus dari kisah percintaan Raja Djaafar dan Tengku Buntat.
Dengan menggunakan bentuk alur kilas balik, jalinan cerita ini diawali Rida dengan bingkai prolog diterimanya naskah kuno Kerajaan Riau Lingga oleh Raja Ikhsan –seorang chief editor di sebuah majalah sastra dan budaya– dari sahabatnya Jan Van Der Plast di Belanda. Di sinilah pembaca diantarkan masuk ke dalam cerita sebenarnya tentang Raja Djaafar yang keturunan bangsawan Bugis-Melayu dan Tengku Buntat yang anak bangsawan Melayu tulen.
Buntat yang biasa dipanggil Cik Puan Bulang merupakan gadis tercantik di Riau dan menjadi impian seluruh pemuda di sana. Karena kecantikannya inilah anak Tengku Muda Muhammad itu mendapat nama pujian sebagai Bulang Cahaya. Dan Raja Djaafar beruntung, karena dari begitu banyak pemuda Melayu maupun Bugis yang jatuh hati kepadanya, Buntat menjatuhkan pilihan kepada pria tampan tersebut. Tapi sayang, dalam perjalanan selanjutnya, kemelut di tubuh Kerajaan Riau Lingga, membuyarkan keinginan mereka untuk bersatu padu dalam ikatan perkawinan.
Kemelut itu, tidak lepas dari ketidakharmonisan hubungan Melayu dan Bugis. Orang Melayu menyimpan dendam atas keberadaan orang Bugis yang mereka anggap sebagai pendatang tapi justru punya kekuasaan besar dalam kerajaan, sementara Melayu sebagai tuan rumah justru terpinggirkan. Semua ini bermula dari adanya Ikrar Sumpah Setia Melayu Bugis yang mengikat sampai ke anak cucu mereka kemudian hari. Di mana dulunya, anak keturunan Sultan Johor meminta bantuan kepada datuk-datuk dari Raja Djaafar asal Bugis yang datang merantau ke semenanjung Melayu. Mereka; Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Perani, Daeng Manambun dan Daeng Kumasi yang merupakan putra bangsawan Kerajaan Luwu, Daeng Rilaka diminta oleh Tengku Sulaiman bersaudara yang merupakan keturunan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah untuk membantu mereka berperang melawan Raja Kecik yang keturunan Sultan Mahmud, Sultan Johor sebelum Sultan Abdul Jalil.
Berkat bantuan mereka, Raja Kecik berhasil disingkirkan dari tahta Kerajaan Johor dan Tengku Sulaiman naik tahta sebagai sultan dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Sesuai perjanjian yang telah mereka buat, maka bangsawan Bugis diangkat menjadi Raja Muda atau Yang Dipertuan Muda yang memegang kendali pemerintahan di bidang pertahanan dan keamanan negeri. Daeng Marewa diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda I. Sedangkan Tengku Sulaiman dan keturunannya menjadi Yang Dipertuan Besar atau Sultan yang memegang kendali masalah agama, adat dan pemerintahan umum.
Tidak hanya itu, sebagai balas budi pula, Sultan Sulaiman juga mengawinkan adik-adiknya, Tengku Tengah dan Tengku Mandak dengan bangsawan Bugis itu, yang kemudian hari tentu saja melahirkan anak-anak berdarah Melayu-Bugis yang tidak lagi bergelar Daeng tapi Raja, termasuk Raja Djaafar yang merupakan cucu dari Daeng Celak yang kawin dengan Tengku Mandak yang salah satu anaknya Raja Haji menjadi Yang Dipertuan Muda IV. Sedangkan Daeng Celak adalah Yang Dipertuan Muda II dan Yang Dipertuan Muda III adalah Daeng Kembodja, anak dari Daeng Perani yang lebih memilih menjadi Raja Muda di Selangor. Sementara Daeng Manambun dan Daeng Kumasi menjadi Raja Muda di Pontianak dan Pemangkat.
Ketika ayah Raja Djaafar tewas dalam peperangan melawan Belanda di Malaka, terjadi kekisruhan di istana yang dipimpin Sultan Mahmudsyah yang menetapkan ayah Cik Puan Buntat, Tengku Muda Muhammad sebagai Yang Dipertuan Muda V. Ini jelas melanggar Ikrar Sumpah Setia Melayu Bugis yang jelas-jelas menetapkan bangsawan Bugis sebagai pemilik sahnya. Raja Djaafar yang seharusnya menjadi Yang Dipertuan Muda mengaku tidak berminat karena dia lebih berkeinginan menjadi saudagar yang jauh dari intrik politik kotor dalam perebutan kekuasaan di istana. Justru Raja Ali anak dari Daeng Kemboja yang lebih berminat dan berkeinginan besar serta merasa berhak menjadi Yang Dipertuan Muda ketimbang Tengku Muda Muhammad. Pecahlah perang saudara.
Untuk menghentikan perang, langkah yang ditempuh Sultan Mahmud seperti diusulkan Raja Andak adalah mengawinkan Tengku Buntat dengan putra mahkota Tengku Husin. Dan Sultan sendiri diminta untuk menikahi Raja Hamidah adik dari Raja Djaafar demi mengukuhkan pertautan darah Bugis-Melayu sehingga kemudian hari tidak perlu ada pertentangan soal keturunan Melayu atau keturunan Bugis dalam kepemimpinan kerajaan. Keputusan ini terang saja membikin Raja Djaafar yang kadung cinta kepada Buntat menjadi marah. Dia mengamuk, walau kemudian berhasil ditenangkan pamannya. Namun konsekuensinya, dia tetap harus menerima kenyataan dan tidak boleh durhaka kepada titah Sultan. Pun begitu dengan Buntat yang tidak bisa menerima kenyataan ini.
“Tidak ada yang membela kita Buntat. Tak ada yang ingin anak Bugis ini menyatukan cintanya denganmu. Buntat, kita memang ditakdirkan tak bisa bersatu. Darah keturunan yang mengalir di tubuh kita, telah menjadi aib, menjadi dosa, menjadi dinding memisahkan kita. Kita memang harus mengalah. Kita memang harus berpisah.” (hal.195)
Meski sudah menikah dengan Tengku Husin, Buntat tidaklah bahagia, Hatinya masih kepada Djaafar. Sementara Djaafar yang merantau ke Selangor dan tinggal di Kelang akhirnya kawin dengan Raja Lebar anak bangsawan setempat. Kisah ini belum berakhir di situ. Babak baru muncul ketika Sultan Mahmud meminta kesediaan Djaafar untuk menjadi Yang Dipertuan Muda menggantikan Raja Ali yang mangkat. Sehingga dia harus balik lagi ke Riau yang pusat kerajaannya sudah berpindah ke Lingga, tempat di mana Buntat juga tinggal bersama suaminya yang merasa yakin akan menjadi penerus Sultan Mahmud walaupun dia hanyalah anak seorang selir. Kenyataannya, ketika Sultan wafat, justru Tengku Abdul Rahman yang didapuk sebagai Yang Dipertuan Besar oleh Raja Djaafar sebagaimana diwasiatkan Sultan Mahmud sebelumnya.
Urungnya Tengku Husin menjadi Yang Dipertuan Besar, memunculkan polemik di tubuh istana. Bahkan Permaisuri Raja Hamidah sendiri menolak keputusan abangnya itu yang dianggapnya melanggar aturan berkerajaan. Oleh Tengku Husin sendiri, keputusan itu dianggap sebagai pelampiasan dendam dari Djaafar terhadap dirinya yang menikah dengan Buntat. Namun Djaafar tetap kukuh dengan keputusannya, walau Buntat sendiri meminta dia untuk meninjau kembali keputusannya. Akibatnya, Kerajaan Riau Lingga pun terpecah, karena Tengku Husin akhirnya memilih lari bersama Buntat ke Temasek dan menjadi sultan di sana.
Kendati membaca kisah dan sejarah yang berkelit kelindan ini, pembaca tidak perlu mengernyitkan kening. Karena Rida menuliskannya dengan gamblang, sehingga mudah dimengerti. Namun begitu, karena kelewat membuai, justru beberapa kealpaan penulis ditemukan, itupun kalau pembacanya njelimet membaca data yang disuguhkan. Setidaknya ditemukan beberapa perbedaan data di suatu halaman dengan halaman lainnya. Misalnya di halaman 20, dikatakan bahwa Raja Ali adalah paman dari Raja Djaafar, sementara di halaman 95 disebutkan sepupu Djaafar. Padahal kalau dari silsilah, Raja Ali adalah anak dari Daeng Kemboja atau cucu dari Daeng Perani. Sementara Raja Djaafar adalah cucu Daeng Celak dan anak dari Raja Haji yang merupakan sepupu Daeng Kemboja. Mana yang benar, Raja Ali sepupu atau paman dari Raja Djaafar?
Selain itu, apakah Tengku Tengah kawin dengan Daeng Marewa atau Daeng Perani. Karena di halaman 55 dituliskan dia menikah dengan Daeng Marewa, sementara di halaman 105 justru dikatakan istri dari Daeng Perani. Di halaman 62 juga ditemukan perbedaan data yang disebutkan bahwa Sultan Mahmud merupakan anak Yang Dipertuan Besar Abdul Jalil dari pernikahannya dengan anak Daeng Marewa. Sedangkan halaman 106, malah dituliskan ibu Sultan Mahmud adalah Daeng Putih, anak dari Daeng Celak.
Terakhir yang menjadi pertanyaan adalah status Yang Dipertuan Muda Raja Ali. Disebutkan dia adalah Yang Dipertuan Muda V. Padahal sebelum dia, bagaimana pun juga Tengku Muda Muhammad pernah menjadi Yang Dipertuan Muda V menggantikan Yang Dipertuan Muda IV, Raja Haji, walau penunjukkan dia itu berbuah perang saudara dan berakhir denan diserahkannya kembali jabatan Yang Dipertuan Muda ke Raja Ali. Kalau memang karena dianggap “tidak sah” –dari perspektif orang Bugis–, mungkin wajar Tengku Muda dianggap tak pernah menjadi Yang Dipertuan Muda. Namun bagaimana pun dari nomor urut dan pencatatan sesuai kelaziman, seharusnya nama Tengku Muda tetap tercatat pernah menjadi Yang Dipertuan Muda yang kelima dan selanjutnya Raja Ali yang keenam. Apakah Rida lupa, atau memang begitu adanya. Tidak jelas, karena memang tidak ada penjelasan.
Walau diliputi sejumlah kekurangan menyangkut perbedaan data, penulisan tanda baca dan kesalahan ketik, bagaimana pun novel ini tetap punya nilai plus. Karena Rida K Liamsi telah cukup berhasil mengungkap fakta sejarah Kerajaan Melayu Riau yang selama ini tidak banyak orang tahu. Dan seperti dikatakan Maman S Mahayana, karya Rida ini memang novel sejarah yang mengasyikkan, novel politik yang bermarwah, dan novel percintaan yang mencerdaskan. Atau dalam bahasa saya; inilah novel sejarah yang wajib dibaca!!! (max)

Syeikh Abdullah Muhammad Siantan

NAMA Kepulauan Siantan dan Kepulauan Jemaja memang cukup dikenali dalam beberapa kitab klasik Melayu. Di antara sekian banyak versi sejarah mengenai hubungan dunia Melayu dengan negeri China, salah satu di antaranya ada kesamaan antara Siantan dengan Pattani, Johor, Palembang dan Bangka.
Keempat-empat tempat itu, ramai mengatakan dan juga berupa tulisan yang meriwayatkan salah seorang putera Raja Cina melarikan diri ke negeri mereka. Putera Raja Cina yang dimaksudkan itu bernama Lim Tau Kian.
H. Amryn Helmi Yuda dalam kertas kerjanya berjudul Masuknya Islam ke Pulau Bangka, menulis, “Sejarah menyebutkan bahwa Wan Abduljabar adalah putra dari Abdulhayat, seorang kepercayaan Sultan Johor untuk memerintah di Siantan. Wan Abdulhayat ini semula adalah seorang pejabat tinggi Kerajaan China bernama Lim Tau Kian, yang kerana berselisih faham dikejar-kejar kemudian melarikan diri bersama isterinya sampai ke Johor. Di sini mendapat perlindungan daripada Sultan.
“Ia kemudian memeluk agama Islam dan menggunakan nama Abdulhayat. Karena keahliannya, ia kemudian diangkat oleh Sultan Johor menjadi kepala negeri di Siantan dengan Ce' Wan Abdulhayat”.
Dalam buku-buku penulisan moden tentang Patani juga disebut-sebut nama ‘Lim Tau Kian’ (Lim Tau Kin). Tetapi dalam semua manuskrip (klasik) ialah ‘Lim Tai Kim’. Riwayat Pattani diceritakan bahawa seorang anak Raja Cina bernama Lim Tai Kim/Lim Tau Kian untuk dilantik sebagai Kaisar Cina telah diuji dengan pelbagai kepandaian dan hampir semuanya lulus belaka.
Namun demikian, dia gagal ujian yang terakhir iaitu tinggal bermalam dalam suatu lopak yang di dalamnya penuh dengan lintah.
Lim Tai Kim/Lim Tau Kian sangat jijik dengan jenis binatang itu. Oleh kerana itu, dia tidak sanggup tinggal dalam lopak itu selama satu malam. Oleh kerana berasa malu, dia melarikan diri ke Pulau Siantan. Tiada berapa lama tinggal di Siantan dia berangkat ke Pattani, usianya pada masa itu ialah 22 tahun.
Di Pattani, dia masuk Islam, ditukar namanya dengan Ya’qub. Pelat orang Pattani dipakai nama ‘Aluk’ atau ‘Aquk’ atau ‘Aqub’ lama-kelamaan bertukar menjadi ‘Tok Aguk’.
Beliau berkahwin dengan salah seorang kerabat Diraja Pattani bernama Raja Cik Cahaya. Lim Tai Kim/Lim Tau Kian/Ya’qub dilantik sebagai Syahbandar untuk memungut cukai di Pelabuhan Kerisik, Pattani.
Menurut riwayat, dialah menjadi arkitek Masjid Kerisik dan dia juga yang membuat Meriam Seri Patani dan Seri Negeri. Berdasarkan sebuah salasilah keturunannya disebut bahawa Lim Tai Kim/Lim Tau Kian/Ya’qub meninggal dunia pada 976 H/1568 M. Kuburnya terletak di Tanjung Luluk/Tanjung Tok Aguk.
Demikian gambaran ringkas kisah Siantan yang bererti ada hubungan dengan tempat-tempat lainnya. Kepulauan Siantan yang terletak di Laut China Selatan itu termasuk dalam gugusan kepulauan Indonesia yang paling utara. Ia terletak di antara Malaysia Barat dan Malaysia Timur atau termasuk antara Malaysia Barat dengan Brunei Darussalam.
Di antara tokoh ulama yang berasal dari Siantan yang dianggap sezaman dengan Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Terengganu/Tokku Pulau Manis (1650 M-1149 H/1736 M) dikenali dengan nama Haji Muhammad Siantan. Beberapa orang sarjana mencatat Hikayat Golam diterjemahkan dari bahasa Arab oleh seorang tokoh yang berasal dari Siantan. Beliau ialah Abdul Wahhab Siantan.
Abdul Wahhab Siantan ialah guru kepada Raja Ja’far, Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga ke-6 (1805-1831 M). Selain dua nama ulama yang berasal dari Siantan itu, terdapat lagi dua nama yang lain. Seorang bernama Syeikh Abdullah bin Muhammad Siantan dan yang seorang lagi ialah Syeikh Abdullah bin Abdul Wahhab Siantan.
Dua versi manuskrip yang penulis peroleh di Dabo Singkep, dapat diketahui bahawa Syeikh Abdullah bin Abdul Wahhab Siantan pernah mensyarah sebuah karya Syeikh Abdullah bin Muhammad Siantan yang diberi judul Bayanu Syirki li Ilahil Haqqil Maliki yang diselesaikan pada hari Jumaat, waktu Asar, 9 Zulhijjah 1228 H, di Air Kepayang, Bandar Terempa, Tanah Pulau Siantan.
Menarik juga untuk diperhatikan maklumat dari manuskrip karya Syeikh Abdullah bin Abdul Wahhab Siantan itu, yang tercatat bahawa dalam tahun 1228 H atau yang diperkirakan bersamaan tahun 1813 M bererti Terempa yang dinyatakan sebagai ‘bandar’ atau kota kecil telah wujud.
Karya Syeikh Abdullah bin Abdul Wahhab Siantan yang merupakan syarah itu kemudian disyarah pula, dijumpai sebuah salinannya yang diselesaikan tahun 1235 H.
Jika diperhatikan kedua-dua tahun yang tercatat pada dua versi manuskrip karya Siantan itu, masing-masing bertahun 1228 H/1813 M dan 1235 H/1819 M yang bererti mendahului karya-karya tokoh-tokoh Riau yang terkenal lainnya.
Memerhatikan tahun kemunculan kedua-dua karya itu bererti pengarangnya sezaman dengan tokoh ulama dunia Melayu yang sangat terkenal Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Diperhatikan juga bahawa Raja Ali Haji pujangga Riau yang terkenal itu sewaktu ke Mekah (1243 H/1827-28 M) sempat belajar kepada ulama yang berasal dari Pattani itu.
Dengan demikian dipercayai bahawa Raja Ali Haji adalah peringkat murid pula kepada kedua-dua ulama yang berasal dari Siantan itu.
ANALISIS NASKHAH
Pada pengamatan penulis, kedua-dua manuskrip yang tersebut di atas adalah merupakan syarah dari sebuah matan yang dipercayai berasal dari Syeikh Muhammad Siantan yang disyarah pula oleh anaknya Syeikh Abdullah bin Muhammad Siantan.
Oleh sebab berasal daripada satu karya, maka pada syarah tersebut banyak persamaan dan perbezaan kandungan. Pada beberapa tempat pula antara kedua-dua naskhah mempunyai kelebihan dan kelemahan yang tersendiri.
Di bawah ini penulis nyatakan data ringkas kedua-dua versi manuskrip. Setelah itu sedikit petikan di antara bahagian kandungan atau kalimat dari kedua-dua naskhah itu.
Penulis mulai dengan Naskhah 1228 H, kandungan ringkas ialah membicarakan syirik dan tauhid menurut pandangan ahli hakikat dalam tasauf.
Karya ini merupakan syarah daripada perkataan-perkataan Syeikh Abdullah bin Syeikh Muhammad yang terdapat dalam Risalah Bayanis Syirki. Tebalnya adalah 86 halaman, 19 baris setiap halaman. Ukuran: 23.6 x 19.5 cm. Klassifikasi: Nadir, belum diketahui di mana manuskrip selain yang diperkenalkan ini tersimpan. Diselesaikan: Pada hari Jumaat, waktu Asar, 9 Zulhijjah 1228 H, di Air Kepayang, Bandar Terempa, Tanah Pulau Siantan. Keadaan Manuskrip: Lengkap, tidak terdapat kerosakan, tulisan jelas dan baik, ditulis dengan dakwat hitam dan merah.
Manuskrip di atas terdapat berbeza kalimat yang digunakan pada mukadimah jika dibandingkan versi Naskhah 1235 H. Untuk sebagai perbandingan, sebelum membicarakan Naskhah 1235 H lebih lanjut di bawah ini penulis petik mukadimah dari kedua-dua versi itu, dimulai Naskhah 1228 H tertulis, “Ada pun kemudian daripada itu, maka akan berkata yang berkehendak kepada rahmat Allah s.w.t dan ampun-Nya, iaitu Syeikh Abdullah namanya anak Syeikh Muhammad yang terlebih hina ia daripada kasut. Maka tatkala dikehendak oleh Allah akan menyampaikan Ia akan kehendakku kepada negeri Pahang bahawasanya menuntut daripada aku setengah daripada sebesar-besar manusia dan iaitu Maulana Pengulu yang amat mulia Muhsin namanya, anak Marhum Habib Abdur Rahman, Habsyi bangsanya, lagi Ba' Alawi bahawa aku perbuatkan baginya suatu risalah yang pandak daripada perkataan ulama ahil hakikat ...”.
Perhatikan perbezaan-perbezaan dengan Naskhah 1235 H yang termaktub dengan kalimat-kalimat, “Ada pun kemudian daripada itu, maka lagi akan berkata orang yang berkehendak kepada rahmat Allah dan ampun-Nya, akan Syeikh Abdullah ibnu Muhammad orang yang terlebih hina daripada kaus yang di bawah kaki segala orang.
“Maka tatkala dikehendak oleh Allah maka datanglah ke Tanah Bugis maka menuntutlah kepada kami daripada setengah orang yang besar-besar pada masa itu, lagi ia ulama pada ilmu tarekat, dan iaitu Tuan Syeikh Zainal Abidin, Qusyasyi bangsanya, Madinah nama negerinya, bahawasanya kami karangkan dia suatu risalah yang pandak, iaitu daripada segala perkataan ulama ahil hakikat...”.
Pemikiran Sheikh Abdullah Siantan
Pada awal syarahnya Syeikh Abdullah bin Syeikh Muhammad Siantan (Naskhah 1228 H) menyatakan, “Maka bahawasanya barang yang faqir suratkan dalam kertas ini akan dipersembahkan Kebawah Duli Telapakan Maulana Saiyid Muhsin itu, akan makanan orang tuha-tuha jua. Dan tiada boleh dimakan oleh kanak-kanak kecil-kecil...”.
Sesudah kalimat tersebut nampaknya ada ketegasan Syeikh Abdullah bin Syeikh Muhammad Siantan bahawa ahli syariat jauh lebih rendah martabatnya dari ahli hakikat, katanya, “Ulama ahlis syariah itu dibilangkan dia kanak-kanak jua, jika ia mengetahui ilmu empat mazhab sekali pun. Dan ulama ahlil hakikat itu dibilangkan akan dia orang tua”.
Pandangan Syeikh Abdullah bin Syeikh Muhammad Siantan yang demikian tentu saja sangat tidak disetujui oleh ahlisy syariat. Mereka sangat murka. Bagi penulis pendapat demikian ada wajarnya kerana jika kita pelajari tulisan-tulisan dan ucapan-ucapan ahlisy syariat sangat banyak tuduhan-tuduhan mereka yang mengatakan bahawa ahlil hakikat adalah sesat, zindiq, keluar dari Islam dan lain-lain sebagainya.
Pandangan Syeikh Abdullah bin Syeikh Muhammad Siantan lagi, “... Dan adalah orang yang terpedaya ia dengan ilmunya itu, mereka itulah ulama ahlis syariah yang zahir. Dan mengiktikadkanlah mereka itu dan memandakkanlah mereka itu atas barang yang diketahui oleh mereka itu akan dia. Dan menyangkalah atas bahawa tiada ada lagi ilmu yang mulia lain daripada ilmu yang sudah diketahui oleh mereka itu akan dia”.
Setelah pandangan tersebut beliau tegaskan, “Maka adalah ilmu hakikat itu seperti mutiara dalam laut tiada mengetahui akan dia itu melainkan segala orang yang kuasa menyelam dia. Dan ilmu syariat itu, iaitu ilmu yang zahir, seperti telur hayam (ayam). Harganya tiada berapa, hanya adalah ingar bangar jua mengerjakan dia. Maka mutiara itu mahal harganya besarnya tiada berapa ...”.
Ditulisnya serangkap syair dalam bahasa Arab dan diterjemahkannya, “Adakanlah akan dirimu itu seperti mutiara dalam andangnya, dalam laut yang maha dalam Dan jangan engkau seperti hinduk hayam, meletakkan ia akan telurnya yang satu, memenuhi suaranya itu dalam kampung”.
Sungguh pun demikian yang diperkatakan oleh Syeikh Abdullah bin Syeikh Muhammad Siantan pada awal kitab, namun beliau sendiri bukanlah seorang yang melalaikan syariat. Beliau adalah seorang ulama pengamal syariat juga.
Jalan pemikirannya dapat kita perhatikan kalimatnya, “... hakikat itu tiada menyalahi syariat, dan syariat itu tiada menyalahi hakikat. Dan keduanya itu bertepatan. Hakikat itu batin syariat, dan syariat zahir hakikat. Dan tarekat itu menjalani ia akan kedua-duanya itu. Makrifat itu mengenal jalan keduanya. Kerana syariat itu umpama kulit. Dan tarekat itu umpama tempurung. Dan makrifat itu umpama isi yang di dalam tempurung. Dan hakikat itu umpama minyak yang di dalam isinya itu”.
Syeikh Abdullah bin Syeikh Muhammad Siantan menegaskan bahawa semua Rasul diutus adalah untuk menegakkan syariat. Nabi Khidir a.s bertugas menzahirkan hakikat. Nabi Muhammad s.a.w adalah kedua-duanya syariat dan hakikat secara padu dan serentak.
Ditegaskannya, “Dan karena itulah difardukan oleh Allah atas Rasulullah s.a.w itu perang sabilillah dengan kafir serta dihalalkan Allah mengambil rampasan harta, halal memakan dia. Dan segala Rasul yang dahulunya perang sabil jua, tiada dihalalkan mengambil rampasan harta mereka itu dan tiada dihalalkan memakan dia”.
Syeikh Abdullah bin Syeikh Muhammad Siantan berpendapat bahawa untuk ilmu syariat terdiri bermacam-macam nama iaitu: Ilmu Syariat, Ilmu Syirik, Ilmu Ijtihad, Ilmu Maktasabah, Ilmu Istijarah, ilmu Mukallafah dan lmu Ta’lilah.
Menurutnya ilmu hakikat juga ada beberapa nama, iaitu: Ilmu Hakikat, Ilmu Tanzih, Ilmu Wahdah, Ilmu Fana’ dan banyak lagi namanya.
Demikianlah pengenalan tentang naskhah/manuskrip Siantan.

Selamat Datang Di Blog Jebat Muda From TAREMPA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS. Dan Terimakasih Atas Kunjungan Anda,