BEGITU banyak kisah percintaan yang berujung pada kisah kasih tak sampai berseliweran mewarnai kesusasteraan dunia. Mulai dari kisah cinta abadi Romeo dan Juliet di Italia, Ohatsu dan Tokubei di Jepang, Uda dan Dara di Malaysia atau Cleopatra di Mesir, Helen dari Troya Yunani, Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri di Minangkabau, kali ini Rida K Liamsi mencoba menciptakan “nasib yang sama” untuk tokoh Raja Djaafar dan Tengku Buntat dari Kerajaan Riau Lingga. Semuanya bernasib tragis, pun begitu dengan kisah yang diangkat dalam novel “Bulang Cahaya” ini.
“Sudah tahu peria pahit
mengapa digulai di dalam pasu
sudah tahu bercinta sakit
mengapa tak jera dari dahulu“
Demikian pantun Melayu menyentil tingkah dua sejoli yang mabuk kepayang dibuai cinta. Dan pantun yang membikin Rida terkesan ini, tampaknya menjadi salah satu kunci utama bagaimana dia membangun kisah percintaan yang berlatar pada sejarah panjang Kerajaan Riau Lingga. Ber-setting daerah Kepulauan Riau sampai ke pantai timur semenanjung Malaysia, latar cerita jatuh bangunnya Kerajaan Riau Lingga yang bermula dari Kerajaan Johor itu justru membikin novel perdana CEO Riau Pos menjadi fenomenal. Pembaca dihantarkan pada perjalanan sejarah sebenarnya kerajaan ini yang tidak semua orang tahu, termasuk budak Melayu sekalipun. Dan demi itu, Rida harus berburu berbagai sumber dan referensi untuk memuaskan keingintahuan pembacanya.
Mengutip Edgar Allan Poe, seperti yang dikatakan Maman S Mahayana yang memberi catatan penutup dalam novel setebal 326 ini, “Bulang Cahaya” telah memenuhi syarat sebagai novel yang memberi hiburan yang mendidik (dulce et utile) atau pendidikan yang menghibur (didactic heresy). Rida dikatakannya, menyodorkan fakta dan peristiwa sejarah Kerajaan Melayu secara meyakinkan, lengkap dengan segala tunjuk ajar dan ruh kebudayaannya.
Apa yang dikatakan Maman tidak salah. Di novel ini kita akan tahu banyak bagaimana berdirinya kerajaan ini, masuknya etnis Bugis yang kemudian menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah Riau, kehidupan sosial orang Melayu, adat istiadat yang berlaku, perjuangan Riau melawan Belanda, sejarah terbentuknya Malaysia dan Singapura, dan sejumlah pengetahuan lainnya. Namun begitu, semuanya itu tetap menjadi pembungkus dari kisah percintaan Raja Djaafar dan Tengku Buntat.
Dengan menggunakan bentuk alur kilas balik, jalinan cerita ini diawali Rida dengan bingkai prolog diterimanya naskah kuno Kerajaan Riau Lingga oleh Raja Ikhsan –seorang chief editor di sebuah majalah sastra dan budaya– dari sahabatnya Jan Van Der Plast di Belanda. Di sinilah pembaca diantarkan masuk ke dalam cerita sebenarnya tentang Raja Djaafar yang keturunan bangsawan Bugis-Melayu dan Tengku Buntat yang anak bangsawan Melayu tulen.
Buntat yang biasa dipanggil Cik Puan Bulang merupakan gadis tercantik di Riau dan menjadi impian seluruh pemuda di sana. Karena kecantikannya inilah anak Tengku Muda Muhammad itu mendapat nama pujian sebagai Bulang Cahaya. Dan Raja Djaafar beruntung, karena dari begitu banyak pemuda Melayu maupun Bugis yang jatuh hati kepadanya, Buntat menjatuhkan pilihan kepada pria tampan tersebut. Tapi sayang, dalam perjalanan selanjutnya, kemelut di tubuh Kerajaan Riau Lingga, membuyarkan keinginan mereka untuk bersatu padu dalam ikatan perkawinan.
Kemelut itu, tidak lepas dari ketidakharmonisan hubungan Melayu dan Bugis. Orang Melayu menyimpan dendam atas keberadaan orang Bugis yang mereka anggap sebagai pendatang tapi justru punya kekuasaan besar dalam kerajaan, sementara Melayu sebagai tuan rumah justru terpinggirkan. Semua ini bermula dari adanya Ikrar Sumpah Setia Melayu Bugis yang mengikat sampai ke anak cucu mereka kemudian hari. Di mana dulunya, anak keturunan Sultan Johor meminta bantuan kepada datuk-datuk dari Raja Djaafar asal Bugis yang datang merantau ke semenanjung Melayu. Mereka; Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Perani, Daeng Manambun dan Daeng Kumasi yang merupakan putra bangsawan Kerajaan Luwu, Daeng Rilaka diminta oleh Tengku Sulaiman bersaudara yang merupakan keturunan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah untuk membantu mereka berperang melawan Raja Kecik yang keturunan Sultan Mahmud, Sultan Johor sebelum Sultan Abdul Jalil.
Berkat bantuan mereka, Raja Kecik berhasil disingkirkan dari tahta Kerajaan Johor dan Tengku Sulaiman naik tahta sebagai sultan dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Sesuai perjanjian yang telah mereka buat, maka bangsawan Bugis diangkat menjadi Raja Muda atau Yang Dipertuan Muda yang memegang kendali pemerintahan di bidang pertahanan dan keamanan negeri. Daeng Marewa diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda I. Sedangkan Tengku Sulaiman dan keturunannya menjadi Yang Dipertuan Besar atau Sultan yang memegang kendali masalah agama, adat dan pemerintahan umum.
Tidak hanya itu, sebagai balas budi pula, Sultan Sulaiman juga mengawinkan adik-adiknya, Tengku Tengah dan Tengku Mandak dengan bangsawan Bugis itu, yang kemudian hari tentu saja melahirkan anak-anak berdarah Melayu-Bugis yang tidak lagi bergelar Daeng tapi Raja, termasuk Raja Djaafar yang merupakan cucu dari Daeng Celak yang kawin dengan Tengku Mandak yang salah satu anaknya Raja Haji menjadi Yang Dipertuan Muda IV. Sedangkan Daeng Celak adalah Yang Dipertuan Muda II dan Yang Dipertuan Muda III adalah Daeng Kembodja, anak dari Daeng Perani yang lebih memilih menjadi Raja Muda di Selangor. Sementara Daeng Manambun dan Daeng Kumasi menjadi Raja Muda di Pontianak dan Pemangkat.
Ketika ayah Raja Djaafar tewas dalam peperangan melawan Belanda di Malaka, terjadi kekisruhan di istana yang dipimpin Sultan Mahmudsyah yang menetapkan ayah Cik Puan Buntat, Tengku Muda Muhammad sebagai Yang Dipertuan Muda V. Ini jelas melanggar Ikrar Sumpah Setia Melayu Bugis yang jelas-jelas menetapkan bangsawan Bugis sebagai pemilik sahnya. Raja Djaafar yang seharusnya menjadi Yang Dipertuan Muda mengaku tidak berminat karena dia lebih berkeinginan menjadi saudagar yang jauh dari intrik politik kotor dalam perebutan kekuasaan di istana. Justru Raja Ali anak dari Daeng Kemboja yang lebih berminat dan berkeinginan besar serta merasa berhak menjadi Yang Dipertuan Muda ketimbang Tengku Muda Muhammad. Pecahlah perang saudara.
Untuk menghentikan perang, langkah yang ditempuh Sultan Mahmud seperti diusulkan Raja Andak adalah mengawinkan Tengku Buntat dengan putra mahkota Tengku Husin. Dan Sultan sendiri diminta untuk menikahi Raja Hamidah adik dari Raja Djaafar demi mengukuhkan pertautan darah Bugis-Melayu sehingga kemudian hari tidak perlu ada pertentangan soal keturunan Melayu atau keturunan Bugis dalam kepemimpinan kerajaan. Keputusan ini terang saja membikin Raja Djaafar yang kadung cinta kepada Buntat menjadi marah. Dia mengamuk, walau kemudian berhasil ditenangkan pamannya. Namun konsekuensinya, dia tetap harus menerima kenyataan dan tidak boleh durhaka kepada titah Sultan. Pun begitu dengan Buntat yang tidak bisa menerima kenyataan ini.
“Tidak ada yang membela kita Buntat. Tak ada yang ingin anak Bugis ini menyatukan cintanya denganmu. Buntat, kita memang ditakdirkan tak bisa bersatu. Darah keturunan yang mengalir di tubuh kita, telah menjadi aib, menjadi dosa, menjadi dinding memisahkan kita. Kita memang harus mengalah. Kita memang harus berpisah.” (hal.195)
Meski sudah menikah dengan Tengku Husin, Buntat tidaklah bahagia, Hatinya masih kepada Djaafar. Sementara Djaafar yang merantau ke Selangor dan tinggal di Kelang akhirnya kawin dengan Raja Lebar anak bangsawan setempat. Kisah ini belum berakhir di situ. Babak baru muncul ketika Sultan Mahmud meminta kesediaan Djaafar untuk menjadi Yang Dipertuan Muda menggantikan Raja Ali yang mangkat. Sehingga dia harus balik lagi ke Riau yang pusat kerajaannya sudah berpindah ke Lingga, tempat di mana Buntat juga tinggal bersama suaminya yang merasa yakin akan menjadi penerus Sultan Mahmud walaupun dia hanyalah anak seorang selir. Kenyataannya, ketika Sultan wafat, justru Tengku Abdul Rahman yang didapuk sebagai Yang Dipertuan Besar oleh Raja Djaafar sebagaimana diwasiatkan Sultan Mahmud sebelumnya.
Urungnya Tengku Husin menjadi Yang Dipertuan Besar, memunculkan polemik di tubuh istana. Bahkan Permaisuri Raja Hamidah sendiri menolak keputusan abangnya itu yang dianggapnya melanggar aturan berkerajaan. Oleh Tengku Husin sendiri, keputusan itu dianggap sebagai pelampiasan dendam dari Djaafar terhadap dirinya yang menikah dengan Buntat. Namun Djaafar tetap kukuh dengan keputusannya, walau Buntat sendiri meminta dia untuk meninjau kembali keputusannya. Akibatnya, Kerajaan Riau Lingga pun terpecah, karena Tengku Husin akhirnya memilih lari bersama Buntat ke Temasek dan menjadi sultan di sana.
Kendati membaca kisah dan sejarah yang berkelit kelindan ini, pembaca tidak perlu mengernyitkan kening. Karena Rida menuliskannya dengan gamblang, sehingga mudah dimengerti. Namun begitu, karena kelewat membuai, justru beberapa kealpaan penulis ditemukan, itupun kalau pembacanya njelimet membaca data yang disuguhkan. Setidaknya ditemukan beberapa perbedaan data di suatu halaman dengan halaman lainnya. Misalnya di halaman 20, dikatakan bahwa Raja Ali adalah paman dari Raja Djaafar, sementara di halaman 95 disebutkan sepupu Djaafar. Padahal kalau dari silsilah, Raja Ali adalah anak dari Daeng Kemboja atau cucu dari Daeng Perani. Sementara Raja Djaafar adalah cucu Daeng Celak dan anak dari Raja Haji yang merupakan sepupu Daeng Kemboja. Mana yang benar, Raja Ali sepupu atau paman dari Raja Djaafar?
Selain itu, apakah Tengku Tengah kawin dengan Daeng Marewa atau Daeng Perani. Karena di halaman 55 dituliskan dia menikah dengan Daeng Marewa, sementara di halaman 105 justru dikatakan istri dari Daeng Perani. Di halaman 62 juga ditemukan perbedaan data yang disebutkan bahwa Sultan Mahmud merupakan anak Yang Dipertuan Besar Abdul Jalil dari pernikahannya dengan anak Daeng Marewa. Sedangkan halaman 106, malah dituliskan ibu Sultan Mahmud adalah Daeng Putih, anak dari Daeng Celak.
Terakhir yang menjadi pertanyaan adalah status Yang Dipertuan Muda Raja Ali. Disebutkan dia adalah Yang Dipertuan Muda V. Padahal sebelum dia, bagaimana pun juga Tengku Muda Muhammad pernah menjadi Yang Dipertuan Muda V menggantikan Yang Dipertuan Muda IV, Raja Haji, walau penunjukkan dia itu berbuah perang saudara dan berakhir denan diserahkannya kembali jabatan Yang Dipertuan Muda ke Raja Ali. Kalau memang karena dianggap “tidak sah” –dari perspektif orang Bugis–, mungkin wajar Tengku Muda dianggap tak pernah menjadi Yang Dipertuan Muda. Namun bagaimana pun dari nomor urut dan pencatatan sesuai kelaziman, seharusnya nama Tengku Muda tetap tercatat pernah menjadi Yang Dipertuan Muda yang kelima dan selanjutnya Raja Ali yang keenam. Apakah Rida lupa, atau memang begitu adanya. Tidak jelas, karena memang tidak ada penjelasan.
Walau diliputi sejumlah kekurangan menyangkut perbedaan data, penulisan tanda baca dan kesalahan ketik, bagaimana pun novel ini tetap punya nilai plus. Karena Rida K Liamsi telah cukup berhasil mengungkap fakta sejarah Kerajaan Melayu Riau yang selama ini tidak banyak orang tahu. Dan seperti dikatakan Maman S Mahayana, karya Rida ini memang novel sejarah yang mengasyikkan, novel politik yang bermarwah, dan novel percintaan yang mencerdaskan. Atau dalam bahasa saya; inilah novel sejarah yang wajib dibaca!!! (max)
Rabu, 04 Maret 2009
Percintaan Tragis Melayu-Bugis
Diposting oleh Jebat Sedanau di 18.46
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar